Wednesday 19 October 2016

Hukum Menggunakan Azimat (Jimat)

Sebagaimana maklum, eksistensi ilmu hikmah dalam khazanah Islam lahir berbarengan dengan islam itu sendiri, Hukum Menggunakan Azimat (Jimat) ada se abrek Hadist yang menjelaskan secara implisit mengenai urgensitas ilmu hikmah.
Demikian ini karena kompleksitas kehidupan terkadang memerlukan beragam jalan alternatif.

Kalau di crosscek dalam beberapa turats maka kita akan mendapati cerita-cerita tentang Rasulullah Saw yang mengamalkan ilmu hikmah tersebut. Di antaranya historisitas turunnya ayat muawwidzatain yang di baca Rasulullah Saw ketika beliau terkena sihir labid bin al-A'sham, yahudi, sebagaimana tersurat dalam lubabun-NuqulfI Asbabin-Nuzul I/238, karya jalaluddin as-suyuthi.
Hukum Menggunakan Azimat (Jimat)
Termasuk dalam frame ilmu hikmah adalah azimat yang sering digunakan oleh banyak kalangan sebagai mediator untuk meno;lak marabahaya. Sejatinya, penggunaan azimat sudah marak terjadi pada zaman pra islam (jahiliyah). Konon, masyarak arab jahiliyah seringkali mengalungkan manik-manik dileher anak-anak mereka sebagai langkah preventif atau mengusir pengaruh jahat. Inilah arti leksikal azimat sebenarnya. Pada tataran selanjutnya, kata azimat mengalami generalisasi makna yaitu segala sesuatu yang beraroma perlindungan. (Lihat Zainuddin Abdurrauf Al-Munawi, at-Taisir bi Syarhil-Jami' ash-Shaghir, 1/577).
   Kalau kita zoom ini sejarah kebudayaan islam, mulai perioda pertama sampai muataakhirin, maka kita akan menemukan segudang data original yang mengurai jelas dan lugas tentang praktek penggunaan azimat yang dilakukan oleh shahabat Nabi Muhammad SAW dan para para ulamaa salaf selanjutnya.

   Dalam Aht-Thibb an-Nabawi 1/165, Muhammad bin Ubai bin Ayyub ad-Dimasyqi, mengutip Hadis daari jalur Amr bin Syuaib:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يعلمهم من الفزع أعوذ بكلمات الله التامة من غضبه وعقابه وشر عباده ومن همزات 
 . الشياطين وأعوذ بك رب أن يحضرون
 Artinya: ''Bahwasanya Rasulullah mengerjakan do'a bangun tidur, Aku berlindung dengan kallimat-kalimat Allah yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya dari godaan  setan serta kedatangannya godaan''. (HR. at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
   Sehubungan dengan ini, Abdullah bin Umar mengerjakan do'a tersebut kepada putra-putranya yang sudah dewasa, sedangkan untuk yang masih kecil, beliau menulisnya kemudian mengalungkannya.
   Dalam kitabul Furu', buah pena syamsuddin Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, diriwayatkan bahwa suatu ketika Abu Dawut melihat Ali bin Abdillah menggunakan kalung azimat. Menurut imam khalal, kalung azimat tersebut tidak dikenakan sesuai bala' yang menimpa Ali. Juga Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harrani dalam al-kalim ath-Thayyibnya hal.52-53 menyatakan bahwa Abdullah bin Amr bin al-Ash pernah membuat azimat untuk putra-putranya.
   
   Namun demikian, ada segelintir orang yang memberedel statemen mengenai legalitas syariat dalam kebolehan menggunakan azimat, dengan mengacu pada Hadis berikut:
وقد روي عن علي بن ابي طالب وعبدالله ابن مسعود رضي الله عنهما, أن الرقى والتمائم والتولة شرك
   Artinya: ''Telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Abu Abdullah bin Mas'ud bahwasanya susuk (ruqyah), azimat, dan pengasihan adalah perbuatab syirik''. (HR. Abu Dawud).
   Mengumintari Hadis ini, Imam ath-Thayyibi dalam kitab Faidhul-Qodir Syarh Jami' ash-Shaghir,II/434, mengatakan, bahwa maksud syirik pada Hadis diatas adalah jika si penguguna azimat menyakini bahwa aziat tersebut mengandung power yang mampu mengubah tahdir yang sudah digariskan oleh Allah SWT, sebagaimana keyakinan yang telah terpatri dalam hati masyarakat arab jahiliyah kala itu.
   Terkait dengan ini, Al-Baihaqi  sebagaimana yang dikutip oleh An-Nawawi dalam al-majmu'nya VIIII/66 menambahkan, ketika si azimat tersebut berupa teks-teks suci dan si pengguna hanya sebatas tabaruk serta menyakini bahwa semuanya dari Allah SWT, maka sah-sah saja.     
   Namun perlu diperhatikan, tidak semua jenis azimat boleh kita gunakan. 
Ada beberapa standar syariat yang harus dipenuhi dalam azimat tersebut, yaitu:
   1. Harus membuat teks-teks ilahi, nama-nama Allah SWT dan do'a-do'a yan ma'stur dari Nabi Muhammad SAW, sebagaimana penjelasan dalam kitab Aunul-Ma'bud Syarh Sunan Abu Dawud, X/262, karya Imam Abu Thayyib al-Abadi.
   2. Menggunakan bahasa arab atau bahasa lainnya yang bisa dipahami maknanya. Hal ini diperlukan agar ada kejelasan dalam azimat tersebut. karena tidak tertutup kemungkinan tulisan yang tidak bisa dicerna maknanya justru mangandung aura sihir yang berujung kemusyrikan.
   3. Menyakini bahwawa azimat itu tidak memberikan efek apapun tanpa kehendak dan seizin Allah SWA dan hanya dibuat oleh mediator.
   Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah tidak membawa azimat yang berisi kalam yang suci ketempat-tempat kotor. Juga harus harus dijaga sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik dalam at-Thibyan fi Abadi Hamalatil-Qur'an, 172, karya Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi.

   Dengan demikian, hukum menggunakan azimat boleh-boleh saja, tidak perlu dipermasalahkan (no problem), asalkan sudah memenuhi ketentuan-ketentuan diatas. والله اعلم

Kiranya cukup sampai disini saja, semuga artikel ini dapat memberi manfaat terhadap pembacanya, terutama bagi penulisnya. Amin Ya Robbal Alamin

0 komentar:

Post a Comment

MASUKAN KOMINTAR DISINI