Thursday, 24 November 2016

Warung Kopi Di Bulan Suci

Warung Kopi Di Bulan Suci, Syekh Abdurrahman ash-Shafuri bercerita dalam Nuzhatul-Majalis (hal 165): Seorang penganut agama Majusi mendapati anaknya sedang menyantap makanan di hadapan kaum Muslimin yang sedang berpuasa ramadhan. Maka si Majusi itu langsung menamparnya, seraya berka:   لم لم تحفظ حرمة المسلمين في رمضان  
''Kenapa kamu tidak menghormati kaum muslimin yang sedang berpuasa ramadhan''
Warung Kopi Di Bulan Suci

Tidak sampai sepekan dari kejadian tersebut, si Majusi itu meninggal dunia. Syahdanada seorang ulama bermimpi melihat dia berada di surga. ''Bukankah engkau seorang majusi?'' tanya ulama itu pada dia, diapun menjawab: بلى ولكن لما حضرت وفاتي أدركني الله بالاسلام لاحترامي شهر رمضان
"Benar. Namun menjelang ajalku tiba, Allah SWT menyelamatkanku dengan agama Islam gara-gara aku menghormati bulan suci ramadhan".

Secara ushul fiqih, tentu saja kisah ini tidak memiliki kekuatan apapun untuk dibuat dalil, sebab mimpi bukan termasuk dalam salah satu mashadir at-tasyri' (sumber ajaran syariat), baik mashadir yang telah disepakati ulama ataupun mashadir yang masih terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Namun demikian, bukan berarti cerita Syekh ash-Shafuri tersebut tidak memiliki makna apa-apa, sehingga kita abaikan begitu saja. Perlu kita ingat bahwa sebuah cerita seringkali lebih udah diterima sebagai inspirasi bagi banyak orang. Bahkan ada sebagian orang yang tidak bisa tergugah oleh sederet dalil yang matang dan kuat, namun dia mudah tergugah hanya gara-gara satu cerita yang dihayatinya. Ada banyak orang yang tidak bisa dipengaruhi pikirannya, tapi bisa disentuh perasaannya.

Oleh karena itu, cerita semacam ini sangat penting kita sampaikan kepada masyarakat, terutama terutama karena akhir-akhir inin karisma bulan Ramadhan sudah semakinpudar di hadapan mereka. Dua puluh tahun yang lalu, sangat sulit menemukan warung makan yang berani buka di siang hari bulan Ramadhan, apalagi secara terang-terangan. Namun akhir-akhir ini kita sudah terbiasa melihat warung yanng berani berjualan makanan secara terang-terangan. Kita mulai terbiasa melihat orang yang makan-makan di tempat umum tanpa rasa segan dan beban moral sedikitpun.

Fenomena ini bukan hanya soal mulai banyaknya orang Islam yang tidak berpuasa. Namun lebih dari itu juga menyangkut hilangnya rasa hormat terhadap ajaran agama dari hati mereka. Ini merupakan persoalan yang sangat serius, karena jika hal tersebut dibiarkan terjadi secara terus menerus, maka ajaran-ajaran pokok Islam lambat laun tinggal namanya belaka.

Oleh karena itu, Islam bersikap sangat keras terhadap orang yang melakukan keburukan secara terang-terangan (mujahir bil-fisq), apalagi disertai dengan rasa bangga. Secara sosial hal itu memiliki banyak sekali efek buruk, diantaranya:
1. melakukan perbuatan maksiat dengan terang-terangan sama halnya dengan menginjak-nginjak harga diri ajaran agama.
2. mempromasikan keburukan.
3. menanamkan kesan bahwa pelanggaran tersebut merupakan hal biasa. Akibatnya masyrakat tidak merasakan beban moral untuk melakukannya.
4. berpotensi besar untuk ditiru oleh orang lain.

Rasulullah Saw bersabda:
كل امتي معافى الا المجا هرين
''Semua umatku (bisa) diampuni oleh Allah, kecuali orang-orang yang terang-terangan (dengan perbuatan maksiat). HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Dalam Hadis Mursal-nya Imam Hasan al-Bashri disebutkan bahwa da tiga orang yang halal kehormatannya (boleh di ghibah dan semacamnya), yaitu: orang yang terang-terangan melakukan kefasikan, pemimpin yang zalim dan orang ahli bid'ah (penganut aliran menyimpang).
Ibnu Batthal menyatakan:
وفي المجاهرة بالمعاصي استخفاف بحق الله وحق رسوله ضرب من العناد لهما
"Dalam perbuatan maksiat yang dilakukan dengan terang-terangan terdapat unsur melecehkan hak Allah SWT dan hak Rasul-Nya, juga ada semacam penentangan terhadap keduanya'' (Syarh Shahih al-Bukhari: IX/163).

Warung Kopi Di Bulan Suci
Dengan demikian, maka sudah seharusnya umat Islam bersatu menyerukan agar warung-warung makan tutup disiang hari Bulan Ramadhan. Oleh karna itu, sungguh merupakan suatu hal yang sangat ironis, ketika pada bulan Ramadhan yang lalu (1436 H ) justru ada sebagian ulama' masyhur yang membela warung-warung yang buka di siang Ramadhan.

Pembelaan tersebut seolah-olah merupakan sikap bijak, padahal sebenarnya merupakan pertanyaan sangat kontak produktif, bahkan berbahaya. Sebab, pertanyaan itu berpotensi besar di jadikan sebagai alat justifikasi untuk memberi ruang bebas bagi orang-orang Islam yang tidak menjalankan ibadah puasa. Logikanya, tampa di bela sekalipun mereka sudah berani terang-terangan, apalagi jika ada ulama' terkenal yang justru mengeluarkan pertanyaan membela. Tentu kita tahu bahwa memang ada orang-orang yang sedang memiliki uzur ( tidak wajib berpuasa ), namun jumlah mereka sangtlah kecil, sehingga tidak bisa di jadikan sebagai alasan untuk mengorbankan kepentingan yang jauh lebih luas.

Ibarat begini : ganda kadangkala di butuhkan untuk keperluan pengobatan medis, akan tetapi kebutuhan medis tersebut sangatlah kecil di bandingkan ganja yang di gunakan untuk hal-hal buruk yang merusak mental dan moral masyarakat. Apakah dengan dalih kebutuhan medis, kita akan membela orang-orang yang menanam ganja di ladang-ladang mereka!? Tentu saja hal itu merupakan kesalahan berfikir yang sangat mendasar.

Warung Kopi Di Bulan Suci
Sedangkan untuk non muslim perbandingannya adalah pulau bali. Umat islam di sana tidak berani melakukan kegiatan di tempat umum ketika Hari Nyepi. Mereka memahami posisinya di tengah-tengah mayoritas umat Hindu yang sangat menghormati momen ini. Maka, di wilayah mayoritas Muslim seperti di jawa dan Sumatera, sudah seharusnya non Muslim juga tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang melukai perasaan umat Islam selama bulan Ramadhan. Misalnya, tidak makan-makan di tempat umum dan tidak secara terang-terangan membuka warung makanan.

Oleh karena itu, kita perlu memberikan apresiasi yang besar kepada aparat pemerintah yang melakukan penertikan terhadap tempat-tempat hiburan selama bulan Ramadhan, apalagi jika sampai menertibkan warung-warung. Sebenarnya, hiburan-hiburan tersebut di larang agama meskipun di luar Ramadhan. Namun, perhatian lebih selama bulan Ramadhan setidaknya menumbuhkan semangat penghormatan terhadap bulan suci.

Apalagi, menurut ulama' salah satu hal yang menyebabkan perbuatan maksiat menjadi semakin berat dan besar desanya adalah karena di lakukan di waktu atau tempat-tempat mulia. Senyampang aparat bergerak dengan siap untuk menertibkan, maka tentu saja kita sangat tidak mendukung adanya ormas atau unsur masyarakat yang bergerak sendiri si luar aparat pemerintahan. Namun, jika aparat pemerintahan membiarkan, maka kita tidak bisa menyalahkan jika ada unsur ormas atau masyarakat melakukan peneriban sendiri.

Sebab, tujuan mereka melakukan hal itu adalah untuk membela hak dan harga diri ajaran agama yang di injak-injak oleh pelaku maksiat. Tindakan-tindakan semacam ini bukanlah bentuk intolernasi, namun lebih sebagai tekanan terhadap pelanggaran dan penyimpangan. Sebab, pada dasarnya kita menerima pembelaan, tapi tidak bisa menerima sebuah penyimpangan. Sekali lagi perlu di garisbawahi bahwa toleransi adalah kata yang tepat dalam menyikapi perbadaan, tapi bukan kata yang tepat untuk menyikapi pelanggaran, penyimpangan, penistaan dan penodaan. Membiarkan penyimpangan atas nama toleransi adalah sikap lemah, tidak peduli dan menipu diri.

    Kiranya cukup sampai disini tentang Warung Kopi Di Bulan Suci ini, semuga pengarangya selau sehat wal afiyat, dan semuga yang membaca artikel ini bisa dapat mengambil hikmahnya. Amin Ya Robbal Alamin.

                                                                                                                                   BULETIN Sidogiri

0 komentar:

Post a Comment

MASUKAN KOMINTAR DISINI