Friday 25 March 2016

Hukum Perempuan Menjadi Kepala Desa

Hukum Perempuan Menjadi Kepala DesaPerdebatan mengenai boleh tidaknya memilih perempuan sebagai pemimpin selalu ada dari waktu ke waktu. Meski kini kita temui kepala desa, camat, bupati, atau gubernur perempuan, namun bukan berarti sudah ada kesepakatan mengenai hal ini. Justru, isu ini terus digulirkan, terutama menjelang pemilihan pemimpin di level-level tertentu, termasuk level presiden.

S. Bagaimana hukumnya orang perempuan menjadi kepala Desa? Bolehkah atau tidak ?



J. Sebenarnya mencalonkan orang perempuan untuk pilihan kepala Desa itu tidak boleh,
Kecuali dalam keadaan memaksa, sebad disamakan dengan tidak bolehnya orang perempuan menjad Hakim.

Demianlah menurut mazhab Syafi'i, Maliki, Hanbali dan yang dilakukan oleh ulama Salaf dan Khalaf.
Tetapi mazhab Hanafi memperbolehkan dalam urusan harta benda. Sedangkan Imam Ibnu Jabibir memperbolehkan dalam urusan  apa saja.
Keterangan, dalam kitab Miza Sya' rani II /182 dan Bidayatul Mujtahihid II:

   Demianlah pula para ulama berbeda pendapat tentang per syaratan jenis kelamin laki-laki.Mayoritas ulama berpendapat, kelakian tersebut merupakan syarat ke absahan hukum. Imam Abu Hanipah berpendapat, perempuan boleh menjadi hakim dalam masalah harta.Imam al-Thabrani berpendapat, Perempuan boleh menjadi hakim secara mutlak dalam hal apapun.

   Abdul Wahab berpendapat, bahwa tidak ada perbedaan di kalangan ulama dalam pensyaratan status merdeka. Maka ia mempersamakannya dengan keputusan yang terkait dengan pimpinan tertinggi (kepala negara) dan menganalogikan perempuaan itu dengan hamba sahaya karena kurangnya kehormatan pada perempuan.
   
   Bagi ulama yang memperbolehkan keputusan hukum oleh perempuan dalam masalah harta,. maka berarti menyakannya kebolehan kesaksian perempuan. dalam masalah harta. Dan pada dasarnya, semua yang memungkinkan peleraian dalam masalah dikalangan masyarakat maka hukumnya boleh kecuali yang memang dikhususkan oleh masyarakat seperti pinpinan tertenggi. Adapun persyaratan status merdeka, maka tidak ada perbedaan samasekali.

Imam Muhammad Ibnu Jarir al- Thabrani memperbolehkan perempuan menjadi hakim dalam hal apapun. Sedangkan Ulama khalaf dan salaf tidak memperbolehkan.

     Sesuai dengan sabda Rasululloh Saw: ''Tidak akan pernah sukses sesuatu kaum yang menyerahkannya urusannya kepada perempuan''.

     Rasulullah Saw. dalam bersabda tersebut ketika masyarakat mengangkat putri raja persia sebagai ratu sesudahnya. Para ulama ahli kasysyaf bersepakat tentang persyaratan jaenis lelaki bagi semua mubaligh. Kita tidak pernah mendengar bahwa seorang perempuan al-salaf al-shalih telah tampil sebagai pendidik, Karena perempuan derajatnya tidak sempurna, walaupun ada yang sempurna di kalangan sebagian mereka, Seperti maryam putri imran dan Aisyah isrti Fia'un. Dikatakan sempurna terkait dengan ketakwaan dan agama dan bukan tentang penetapan hukum di kalangan masyarakat.


Hasil keputusan 

AhkamuL fuqoha SOLUSI PROBLEMATIKA AKTUAL HUKUM ISLAM 
Keputusan muktamar ,Munas ,dan Konbes NAHDLATUL ULAMA
( Tahun 1926-2004 M.)

  Semuga kita bisa mengambil manfaatnya, Amin...

0 komentar:

Post a Comment

MASUKAN KOMINTAR DISINI